Minggu, 23 Oktober 2011

alam terus merayap turun. Bulan sabit bersinar pucat dilangit, berteman bintang-bintang yang redup tertutup kabut. Angin dingin bertiup kencang, menghembus tubuhku yang dibungkus sweater dan jacket kulit. Dan kami bertiga, yang duduk dibawah sebatang pohon jati yang besar, beralas selembar kain terpal yang lusuh, terus menunggu dengan sabar. Sambil menatap jauh kedepan dengan hati berdebar. Tegang rasanya. Setiap kali semak dan belukar di dekat kami bergerak. Aku dan Sulis cepat bertiarap. Jantungku serasa berhenti berdetak. Tapi pak Dikin cuma tertawa lirih, "Itu bukan celeng mas, paling juga kelinci atau ayam liar". Angin malam berdesau riuh. Bagai melagukan ratapan arwah-arwah penasaran yang membuat bulu kuduk ku berdiri, sayup terdengar suara anjing melolong di kejauhan sana, diselingi jeritan burung hantu yang parau. Dan aku terus membayangkan sebuah masa lalu yang kelabu. Kabarnya... dulu...di hutan jati ini, banyak sekali orang-orang yang dibunuh . Dibantai tanpa ampun lagi. Karena mereka ikut terlibat gerakan 30 September. Kenangan ini membuat keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Kulihat Sulis sudah berbaring telungkup disebelahku. Rupanya dia merasa takut juga. "Kalau ngantuk tidur sajalah mas , nanti kalau celengnya datang, aku bangunin deh", kata pak Dikin tenang. Kututup kedua belah telingaku dengan telapak tangan. Lalu berbaring didekat Sulis. Aku sudah tak peduli lagi pada celeng yang kami tunggu. Aku hanya ingin matahari secepatnya terbit. Agar kami bisa pergi dari tempat yang jahanam ini. Sambil berbaring ku awasi punggung pak Dikin yang duduk mencangkung didepanku sambil memangku bedilnya. Dan rasa aman melanda diriku. Kalau ada apa-apa pasti dia akan bertindak melindungi diriku. Dia seorang lelaki yang kuat dan berani. Tak merasa ngeri sedikitpun dengan suara-suara yang aneh disekeliling kami. Maklum dia seorang prajurit ABRI. Yang lama bertugas di Tim Tim. Entah sudah berapa puluh orang yang pernah ditembaknya disana dengan bedil yang dipangkunya itu. Kupejamkan mataku. Mencoba untuk tidur seperti Sulis.Tapi suara-suara yang mengerikan itu terus saja bergema di telingaku. Hingga aku hampir gila dibuatnya. Dalam hati aku bersumpah, aku tak mau pergi ikut orang berburu lagi. Tak ada sensasi yang kurasakan. Ternyata berburu itu adalah sebuah pekerjaan yang menjemukan sekali. Cuma duduk menunggu dan kedinginan sepanjang malam. Juga tersiksa oleh suara-suara yang aneh dan seram dari alam semesta. Menjelang subuh, aku pun jatuh dalam pelukan gelap yang gelisah. Dan aku bermimpi melihat seekor celeng yang hitam dan besar, berlari melintas didepanku, meninggalkan sebuah derum yang panjang. Aku terbangun. Dan terasa sebuah tangan yang dingin membekap mulutku. "Ssst ". Kudengar suara pak Dikin berdesis ditelingaku. Kulihat dia sudah telungkup di sebelah tubuhku. Sulispun rupanya sudah terjaga juga. Kudengar nafasnya berdesah cepat sekali. Aku ingin bangkit tapi pak Dikin menahan tubuhku. Tangannya menunjuk ke depan. "Tiarap sajalah", bisiknya. Kubalik kan tubuhku dan kuangkat kepalaku keatas. Dan ...aku menjerit kaget..untung pak Dikin telah membekap mulutku lagi dengan sigapnya. Mataku terbelalak. Jantungku berdebur kencang. Aku melihat siluet gelap bayang-bayang orang di tempat terbuka yang ada didepan kami. Banyak sekali. Lelaki dan perempuan. Mereka berteriak-teriak dan menjerit-jerit histeris. Tak ada kata-kata yang dapat menggambarkan perasaanku pada saat itu. Yang jelas rasa takut dan ngeri telah membuat tubuhku bagaikan lumpuh tak berdaya. Kepalaku terkulai kebawah. Dan kubaca semua ayat suci yang yang dapat kuingat didalam hati. Pak Dikin dan Sulis kian merapat ke tubuhku, yang telungkup ditengah mereka. Kudengar mulut merekapun berguman membaca doa tanpa henti. Seiring dengan terbitnya matahari, suara yang riuh rendah itupun terdengar semakin samar. Lalu senyap mencengkam. Kuangkat kepalaku. Ternyata mereka telah pergi..seperti lenyap ditelan bayangan sang fajar . Kami saling berpandangan. Lalu berdiri dengan tubuh gemetar. Kulihat celana pak Dikin basah, ternyata lelaki yang gagah berani itu, takut sekali dengan hantu sampai terkencing-kencing. Tanpa berkata apa-apa lagi, pak Dikin menyandangkan bedilnya ke bahunya. Lalu berlari terbirit-birit kearah desa yang terletak di pinggir hutan jati itu. Diikuti aku dan Sulis. Yang lari pontang panting mengikutinya. Kami begitu panik dan takut, hingga tak peduli lagi pada bekal makanan dan minuman yang masih berjajar diatas selimut terpal. Sampai di jalan setapak yang menghubungkan desa itu dengan jalan besar, kami berpapasan dengan serombongan orang. Tua-muda, besar-kecil, sedang berjalan berbondong-bondong ke arah jalan besar. Seperti orang yang sedang pergi mengungsi . Karena wajah mereka tampak muram semua. Melihat kedatangan kami mereka menghentikan langkahnya. Dan seorang lelaki tua bergegas menghampiri Pak Dikin. "Tolonglah kami pak", katanya sambil melirik ke arah bedil yang ada di bahu pak Dikin. "Pak Dikin menarik nafas panjang, untuk menenangkan hatinya yang masih dicekam rasa ngeri. "Mau kemana kalian pergi sepagi ini?", tanyanya dengan nafas yang masih terputus-putus. "Saya adalah lurah di desa ini", kata lelaki tua itu. "Subuh tadi, desa kami diserbu oleh serombongan pengemis, gelandangan dan orang gila, yang datang menjarah semua makanan yang kami miliki"."Rupanya mereka lapar sekali, karena mereka nekat memasuki rumah kami tanpa diundang, lalu makan dan minum apa saja yang dapat mereka temukan didapur, tanpa minta permisi lagi kepada pemilik rumah". "Saya lihat bapak punya senjata api, mungkin bapak bisa mengusir mereka semua dari desa kami, Jadi kami tak perlu lagi minta tolong kepada komandan koramil yang kantornya didekat kecamatan sana". Pak Dikin menggeleng-gelengka n kepalanya. "Masyaa Allaah..Ya Allaah ..Ya Tuhanku..", bisiknya berulang-ulang. Seperti tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. "Lalu darimana datangnya rombongan orang gila dan pengemis itu pak Lurah", tanya saya penasaran. Pak lurah menarik nafas panjang. "Ya dari Jakarta to mas, habis darimana lagi, biasanya kalau ada tamu agung yang mau datang berkunjung ke sana, biar kotanya jadi nampak bersih dan rapi, semua pengemis, gelandangan dan orang gila dikumpulin jadi satu, lalu dinaikin ke truk-truk terus didrop ke dalam hutan-hutan lebat yang masih ada di pulau Jawa ini". Aku dan Sulis berpandangan. .Kalau begitu yang kami lihat semalam tadi..ternyata bukan hantu beneran..cuma paket dari Jakarta doang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar